Kamis, 21 April 2011

Pesantren Dimasa Awal Islam

Terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah Islam yg menyatakan bahwa pendiri pesantren pertama adalah dari kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa dari mereka yg pertama kali mendirikannya. Ada yg mengganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim-lah pendiri pesantren pertama, adapula yg menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yg menyatakan pendiri pesantren pertama adalah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Akan tetapi pendapat terkuat adalah pendapat pertama.

Sedang mengenai pendapat yg menyatakan pesantren paling tua adalah pesantren Tegalsari Ponorogo maka hal tersebut tidak sampai menafikan hal yg kami sebutkan diatas. Karena yg dimaksud adalah pendirian dan pelembagaan pesantren pertama kali.


Wali Songo
Peran dan pengaruh pesantren pada masa ini sangatlah kuat. Dimulai dengan Maulana Malik ibrahim, beliau mendirikan pesantren guna mempersiapkan kader-kader terdidik untuk melanjutkan perjuangan menyebarkan agama islam.

Kemudian datang Sunan Ampel atau Raden Rahmat ia mendirikan pesantren di daerah rawa-rawa pemberian Majapahit. Pesantren tersebut merupakan sentra pendidikan yg sangat berpengaruh di nusantara bahkan mancanegara. Diantara murid-murid beliau adalah Sunan Giri yg mendirikan pesantren Giri Kedaton, beliau juga merupakan penasehat dan panglima militer ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit. Keahlian beliau dalam fiqh menyebabkan beliau diangkat menjadi mufti setanah jawa.

Diantara murid beliau adalah Raden Patah raja pertama kerajaan demak yg juga putra raja terakhir Majapahit Prabu Brawijaya v. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa yg dibimbing oleh para Walisongo. Pada masa Raden Patah pula kerajaan Demak mengirimkan ekspedisi ke Malaka yg dipimpim Adipati Unus untuk merebut selat Malaka dari tangan Belanda.

Dan jika kita teliti tentang sisilsilah ilmu para Walisongo, kita akan menemukan bahwa kebanyakan sisilsilahnya akan sampai pada Sunan Ampel. Sebut saja Sunan Kalijaga, belia adalah murid Sunan Bonang yg merupakan Putra Sunan Ampel. Begitu pula Sunan Kudus yg banyak menuntut ilmu dari Sunan Kalijaga. Mereka semua ini punya jasa yg sangat dalam penyebaran agama islam.

Begitulah pesantren pada masa Walisongo, ia digunakan sebagai tempat menimba ilmu sekaligus untuk menempa para santri guna menyebarluaskan ajaran agama Islam, mendidik kader-kader pendakwah guna disebarkan keseluruh nusantara. Dan hasilnya bisa kita lihat sendiri, Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia dan bahkan bukan hanya itu jumlah pengikutnya adalah yg terbanyak di dunia.

Setelah itu muncul pula pesantren-pesantren lain yg mengajarkan ilmu agama diberbagai bidang berdasarkan kitab-kitab salaf.

Pesantren Dimasa Penjajahan

Pada masa penjajan belanda pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yg sangat membatasi ruang gerak pesantren dikarenakan kekuatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan mereka.

Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yg membatasi jumlah jamaah haji. Selain itu belanda juga membatasi kontak atau hubungan orang islam indonesia dengan negara-negara islam yg lain. Hal-hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam menjadi tersendat.

Perlu diketahui, bahwa walaupun Walisongo berhasil mengislamisai sebagian besar wilayah nusantara, namun banyak atau bahkan sebagian besar dari mereka keislamannya belum sempurna. Hal ini dapat dibuktikan dalam masa sekarangpun terdapat masyarakat yg rajin sholat puasa dan sebagainya akan tetapi mereka masih mempercayai kepercayaan mistik animisme warisan nenek moyang mereka. Sebagian lagi dari mereka cuma mengenal islam melalui sholat puasa, larangan memakan daging babi, tradisi sunat saja tanpa mengenal yg lainnya. Dan pada masa penjajahan belanda proses kelanjutan dari pengislaman ini terhambat dan tersendat oleh ulah penjajah Belanda.

Sebagai respon atas penindasan belanda, kaum santri pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah terjadi pemberontakan besar kaum santri di indonesia yaitu :

1. Pemberontakan kaum padri di sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol

2. Pemberontakan Diponegoro di Jawa

3. Pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yg dilakukan belanda

4. Pemberontakan di Aceh yg dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro

Pada akhir abad ke19 segera setelah Belanda mencabut resolusi yg membatasi jamaah haji, jumlah peserta jamaah haji pun membludak. Hal ini menyebabkan tersedianya guru-guru pengajar islam dalam jumlah yg berlipat-lipat yg dengan demikian ikut meningkatkan jumlah pesantren. Karena seperti hal yg kita ketahui, para jamaah haji pada waktu itu selain berniat untuk haji mereka juga sekalian untuk menuntut ilmu, dan ketika mereka kembali ke Indonesia mereka mengembangkan ilmunya dan menyebarkuaskanya.

Pada masa inilah banyak muncul ulama-ulama indonesia yg berkualitas internasional seperti Syekh Ahmad Khatib Assambasi, Syekh Nawawi Albantani, Syeh Mahfudz At-Tarmisi, Syeh Abdul Karim dll. Yang kepada mereka lah intisab keilmuan kyai-kyai Indonesia bertemu.


Snouck Hurgronje
Awal abad 20 atas usul Snouck Hurgronje Belanda membuka sekolah-sekolah bersistem pendidikan barat guna menyaingi pesantren. Tujuannya adalah untuk memperluas pengaruh pemerintahan Belanda dengan asumsi masa depan penjajahan Belanda bergantung pada penyatuan wilayah tersebut dengan kebudayaan Belanda. Sekolah-sekolah ini hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat dan priyayi saja dengan tujuan westernisasi kalangan ningrat dan priyayi secara umum. Kelak sebagai akibat dari sekolah model belanda ini adalah munculnya golongan nasionalis sekuler yg kebanyakan bersal dari kalangan priyayi.

Sebagai respon atas usaha Belanda tersebut para kyai pun mendirikan sistem madrasah yg diadopsi dari madrasah-madrasah yg mereka temukan ketika menuntut ilmu di makkah. Selain itu pesantren juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa Belanda, yg dipelopori oleh pesantren Tebu Ireng pada tahun 1920. Selain itu para kyai juga mulai membuka pesantren-pesantren khusus bagi kaum wanita.

Hasilnya sungguh memuaskan pondok pesantren semakin diminati. Dalam tahun 1920-1930 jumlahpesantren dan santri-santrinya melonjak berlipat ganda dari ratusan menjadi ribuan santri.

Pada kurun waktu awal 1900-san inilah lahir organisasi-organisasi islam yg didirikan kalangan santri. Sebut saja SI yg didirikan Hos Cokroaminoto dan H Samanhudi, NU yg didirikan KH Hasyim Asy’ari, Muhammadiyyah yg dirikan KH Ahmad Dahlan, PERSIS (persatuan islam) dll. Yg kesemuanya berjuang menegakkan agama Islam dan berusaha membebaskan Indonesia dari cengkeraman Belanda.


KH Wahab Chasbullah dan KH Bisri Syamsuri
Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi terse

but melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (majlis syuro muslimin indonesia).

Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan KH Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yg memerintahkan setiap orang pada jam 07:00 untuk menghadap arah Tokyo menghormati kaisar Jepang yg dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan dipenjara 8 bulan.

Menjelang kemerdekaan kaum santri pun terlibat dalam penyusunan undang-undang dan anggaran dasar relublik Indonesia yg diantaranya melahirkan piagam Jakarta. Namun oleh golongan nasioalis sekuler piagam jakarta tersebut dihilangkan sehingga kandaslah impian mendirikan negara Islam Indonesia.

Periode kemerdekaan

Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. KH Hasyim Asyari waktu itu mengeluarkan fatwa wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan

Fatwa tersebut disambut positif oleh umat islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan dikomandoi Bung Tomo dengan semboyan “Allahhu akbar!! Merdeka atau mati” tidak gentar menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya pada tanggal 10 November. Deperkirakan 10000 orang tewas pada waktu itu namun hasilnya, Inggris gagal menduduki Surabaya.


KH. Hasyim Asy'ari
Setelah perang kemerdekaan pesantren mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yg tentu saja masih menganut sistem barat ala Snouck Hurgronje.

Akibatnya pengaruh pesantren pun mulai menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar yg mampu bertahan. Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya. Berbeda pada masa Belanda yg terkhusus untuk kalangan tertentu saja dan disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi orang-orang bersekolah disekolah tersebut.

Pada pada Soekarno pula pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak sekali pertikain ditingkat bawah yg melibatkan kalangan santri dan kaum komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G30s PKI, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen yg menentang komunisme memberangus habis komunisme di indonesia. Diperkirakan 500000rb nyawa komunis melayang akibat peristiwa ini, kepala seorang komunis dipajang disepanjang rel kereta api malang. Peristiwa ini bisa dibilang merupakan chaos paling berdarah di replubik ini namun hasilnya komunisme akhirnya lenyap dari Indonesia.

Biarpun demikian dengan jasa yg demikian besarnya pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui jasa pesantren. Soeharto masih meneruskan lakon pendahulunya yg tidak mengakui pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yg tidak dapat melanjutkan pendidikannya keperguruan tinggi dan tidak bisa diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya hal ini memang sengaja direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang islam dari struktur pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.

Namun demikian pesantren pada kedua orde tersebut tetap mampu menelorkan orang-orang hebat yg menjadi orang-orang penting di negara kita seperti KH Wahid Hasyim, M Nastir, Buya Hamka, Mukti Ali, KH Saifuddin Zuhri dll.

Periode Reformasi Sampai Sekarang

Akibat kebijakan rusak Soeharto pemerintahan pun dipenuhi orang-orang abangan yg tak tahu agama sehingga terjadilah korupsi, kolusi, dan berbagai macam bentuk kerusakan lainnya. Selain itu politik “keseimbangan” yg diterapkannya menyebabkan pesantren yg kebanyakan milik NU kehilangan perannya di lingkungan pemerintahan. Pemerintah lebih suka memilih Muhammdiyyah yg merupakan rival NU untuk menempati beberapa pos penting pemerintahan.


Partai-partai peserta pemilu 2009
Pada era reformasi yg diantara diprakarsai oleh Gus Dur dan Amien Rais dari kalangan NU dan Muhammdiyyah, kaum santri mulai bangkit. Partai-partai yg berbasis santri pun bermunculan. NU yg tidak puas atas hegemoni orang luar NU di PPP mendirikan PKB. Kalangan yg tidak puas dengan PKB mendirikan PKU, PNU sampai yg terakhir PKNU. Dari muhammdiyyah lahir PAN dan PBB. Muncul pula PKS yg banyak terinspirasi gerakan dakwah Ikhwanul Muslimin yg belakangan mencuri perhatian. Namun sayangnya mengapa umat islam bisa dengan mudahnya terpecah belah.Pada masa ini pula muncul untuk pertama kalinya presiden dari alumni pesantren yakni Gus Dur. Namun karena kesekuleranya yg tak jauh beda dari pendahulunya serta sikapnya yg kontroversial menyebabkan ia ditinggalkan kyai-kyai yg mendukungnya. Mulai banyak muncul pula dari alumni pesantren yg mempunyai posisi penting seperti Saefullah Yusuf, Hidayat Nur Wahid, Said Agil Siraj, dan tak lupa syaikhuna KH Maemun Zubair.

Pada masa ini pesantren kembali mengalami ujian berat. Ketika merebak isu terorisme, pesantren mendapat tuduhan sebagai sarang teroris. Pemerintah pun mulai menekan dan mengawasi pesantren dengan menyebar agen intelejennya. Seiring berlalunya waktu tuduhan itu pun mulai menguap lenyap. Namun ujian yg paling berat dan berbahaya adalah dengan menjamurnya virus sipilis (sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme) yg justru diusung dan digembar-gemborkan orang-orang dari pesantren sendiri. Akibatnya banyak pondok pesantren yg mulai tertular virus tersebut. Semoga allah melindungi kita dari paham-paham sesat tersebut!

Kemudian pada masa ini pula pemerintah mulai mengakui keberadaan pesantren. Terbitnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) telah menghapus diskriminasi terhadap pendidikan keagamaan yang berlangsung selama ini.


Generasi penerus tradisi pesantrenNamun sayangnya ini semua sepertinya cuma akal-akalan pemerintah yg notabene anak buah Amerika untuk menyetel dan mengendalikan pesantren. Demi mendapat pengakuan pemerintah, pesantren diharuskan terikat dengan berbagai regulasi teknis dan ketentuan administratif. Seperti misalnya, pesantren diharuskan mengikuti SNP (standar nasional pendidikan) yg meliputi; standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Begitu juga mengenai kurikulum dimana pesantren diwajibkan memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam, ditambah pendidikan seni dan budaya. Sebenarnya tidak ada masalah dengan mata pelajaran tersebut namun yg jadi masalah adalah mereka mencekokkan mata pelajaran tersebut dengan tujuan sedikit-demi sedikit menggeser dan membelokkan pesantren dari pelajaran-pelajaran agama bermaterikan kitab-kitab salaf.

Walhasil kalangan pesantren diharapkan waspada akan gejala ini, karena seperti halnya Amerika berusaha mengintervensi kurikulum Al-Azhar Mesir, begitu pula yg terjadi disini. Selamanya pemerintahan yg sekuler tidak akan tulus membantu mengembangkan ajaran islam. “Fa anta ta’rifu kaidal khoshmi wal-hakami” engkau mengetahui tipu daya musuh dan pemerintah, begitulah bunyi penggalan bait nadzom Burdah.

PESANTREN DALAM KEBIJAKAN SISDIKNAS

Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
-Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: 1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, 2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna, 3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, 4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran, 5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat, 6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren
Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan
Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan
Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: 1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, 2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama, 3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal, dan 4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis
Pasal 26 yang menegaskan: 1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, 2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional, 3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik, 4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis, 5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, 6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa

Kamis, 14 Februari 2008

TELA'AH PESANTREN: POTRET DARI MASA KE MASA

Buku Daras
TELA’AH PESANTREN : POTRET DARI MASA KE MASA
Hj. Hilda Ainis Syifa S.PdI, M.Ag
Alimudin S.PdI













PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS GARUT








KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah SAW. Kepada keluarganya, para sahabatnya, tabiin, sampai kita sebagai umatnya. Aamiin…
Bermula dari keinginan untuk mempunyai pedoman tersendiri dalam mengajar mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Garut, penulis mencoba menyusun materi perkuliahan dalam bentuk buku ini yang disesuaikan dengan Silabus Mata Kuliah Telaah Pesantren yang dikeluarkan oleh UNIGA.
Diharapkan dengan terbitnya buku ini menjadi acuan bagi proses belajar mengajar di Perguruan Tinggi yang lebih baik. Dalam Era Globalisasi sekarang, disamping buku ini sebagai acuan, informasi dari berbagai sumber bisa menjadi rujukan. Sehingga mahasiswa bisa lebih cepat lagi dalam mengakses informasi tersebut menjadi sebuah pengetahuan tersendiri.
Pesantren menduduki peran yang sangat signifikan, dimana kiprah para ulama dalam hal ini menjadi tak terelakkan dalam sejarah pendidikan Islam di tanah air. Hal tersebut seiring dengan nilai perjuangan yang terus didengungkan para pounding father bangsa Indonesia.
Sebagai sebuah refleksi, pembicaraan tentang pesantren ini menjadi keniscayaan bagi setiap kita yang berkiprah di dalamnya, setidaknya dapat menjadi tambahan khazanah intelektual dari bangsa ini dan generasi penerus.
Penulis ucapkan terima kasih kepada para mahasiswa yang memberikan masukkan saat perkuliahan bagi sempurnanya tulisan ini. Tak lupa terima kasih pula kepada anda sidang pembaca yang sudi membaca karya sederhana ini ini.

Hormat Penulis



Alimudin S.PdI




DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
1. PENDAHULUAN
2. LANGKAH DAN DASAR KURIKULUM PESANTREN
3. PRINSIP-PRINSIP YANG MELANDASI KURIKULUM
4. SISTEMATIKA KURIKULUM
5. TEKNIK PENGAYAAN MATERI TERMASUK KITAB TEKSNYA
6. MASALAH-MASALAH POKOK YANG DIHADAPI DALAM PENGEMBANGAN DAN PEMBINAANNYA
7. MODEL-MODEL PESANTREN
PENUTUP
SUMBER RUJUKAN

















BAB I
PENDAHULUAN

Kemajuan teknologi dan informasi di abad dua puluh satu yang menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia itu bagi orang tua ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi benrmanfaat karen memberikan berbagai kemudahan dalam komunikasi dengan anggota keluarganya. Tetapi di sisi lain menjadi tantangan karena bila disalahgunakan anak-anak mereka akan menyebabkan kerusakan generasi.
Ya, orang tua yang peduli akan masa depan anaknya sangat merasa khawatir dengan perkembangan moralitas bangsa ini. Karena itu mereka berusaha untuk membentengi anak-anak mereka dari segala pengaruh kebiadaban modern. Dan sebagai salah satu alternatif untuk pembentengan moralitas anak adalah pendidikan pesantren. Fenomena itu bisa dibaca dari meningkatnya animo orang tua untuk memasukkan anak-anaknya belajar di pesantren. Begitu besarnya animo tersebut, hingga pesantren kecil yang terletak di ujung kampung, yang jauh dari kota pun mendapatkan santri dalam jumlah yang signifikan.Hanya saja, karena dilandasi kekurangtahuan orang tua tentang seluk beluk pesantren kadang-kadang muncul pandangan terhadap pesantren yang kurang proporsional. Ada di antara mereka yang memandang pesantren seperti dewa, yang akan bisa menyulap moralitas anaknya dalam waktu sekejap. Ada pula yang memandang pesantren sabagai layaknya perusahaan sehingga ketika menyerahkan anaknya untuk dididk di pesantren harus dilakkan kalkulasi yang njilmet. Sebenarnya seperti apakah pesantren itu?
Definisi pesantren
Kata pesantren berasal dari akar kata santri dengan awalan "Pe" dan akhiran "an" berarti tempat tinggal para santri. Profesor John berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Sedangkan CC Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India adalah orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu (Zamakhsari;1983). Kata Shastri sendiri memiliki akar makna yang sama dengan kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau pengetahuan. Tetapi mungkin juga kata santri dirunut dari kata cantrik (hildaku.blog.com), yaitu para pembantu begawan atau resi yang diberi upah berupa ilmu. Teori terakhir ini pun juga perlu dipertimbangkan karena di pesantren tradisional yang kecil, di pedesaan-pedesaan, santri tak jarang juga bertugas menjadi pembantu kyai. Konsekuensinya, kyai memberi makan kepada santri selama ia ada di pesantren, dan juga mengajarkan ilmu agama kepada santri tersebut.Selain istilah tersebut, dikenal pula istilah pondok yang berasal dari kata Arab "funduq" dan berarti penginapan. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua istilah tersebut biasa digunakan secara bersama-sama, yakni pondok pesantren.
Sejarah pesantren
Sejauh ini tidak ada catatan yang jelas kapankah pesantren yang pertama kali berdiri. Mastuhu memperkirakan pesantren telah ada sejak 300-400 tahun yang lalu (1994:20). Sementara itu Departemen Agama, memberikan keterangan bahwa pesantren pertama didirikan pada tahun 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes 2 di Pamekasan Madura. Dan ada yang menyebutkan pesantren pertama didirikan oleh Raden Rahmat pada abad 15 M. (www.almihrab.com)Dengan melihat terminologinya, kita bisa mengatakan bahwa pendidikan pesantren berasal dari India. Secara historis pun bisa dilacak bahwa sistem pendidikan yang mirip dengan pesantren telah ada sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Sistem pendidikan tersebut dipergunakan untuk mendidik dan mengajarkan agama Hindu di Jawa. Kemudian setelah Islam masuk dan tersebar di Indonesia, sistem pendidikan tersebut digunakan pula untuk membina kader-kader Islam. Dari sana bisa diduga bahwa secara kurikulum pesantren awal hanya merupakan bentuk penyesuaian orientasi keagamaan dari Hindu menjadi Islam saja. Jika di masa kerajaan Hindu, padepokan berfungsi untuk mencetak begawan dan resi, maka setelah masuknya Islam pesantren bertujuan untuk mengajarkan pengetahuan keislaman, sehingga lahirlah wali-wali yang berjasa besar dalam menyebarkan Islam di Nusantara.Apabila melihat corak keislaman, pesantren awal cenderung kepada pengajaran Islam dengan corak fiqh-tasawwuf. Realitas ini cukup bisa dilihat dengan fenomena thariqah yang pada umumnya berbasis di pesantren tradisional hingga saat ini. Keunggulan corak ini pesantren di masa awal tidak mengalami persinggungan dengan kekuasaan. Akibat yang langsung bisa dilihat, agama Islam berkembang pesat tanpa ada halangan yang berarti dari penguasa saat itu.
Pada abad ke 19 Masehi, muncul pengaruh Salafiyah di Indonesia. Sebagai akibat dari pengaruh ini, di Minangkabau terjadi peperangan antara kaum paderi dengan kaum adat. Belanda mengambil kesempatan dengan adanya peperangan ini dan berpihak kepada kaum adat. Sementara itu, di jawa berdiri beberapa organisasi seperti Muhammadiyah dan Persis. Seiring dengan perkembangan Islam di Nusantara corak tersebut secara pelan mengalami pergeseran. Di awal abad 20 misalnya, Gontor mempelopori berdirinya pesantren yang menekankan aspek kaderisasi pendidikan Islam. Di pesantren ini santri dibekali dengan dasar-dasar ilmu agama dan berbagai ketrampilan hidup sehingga kelak ia bisa membina masyarakat. Metode pengajaran pun dimodernisasi sedemikian rupa.
Sampai akhir abad 20, sistem pendidikan pesantren terus mengalami perkembangan. Pesantren tidak lagi hanya mengajarkan ilmu agama tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu umum. Selain itu juga muncul pesantren-pesantren yang mengkhususkan ilmu-ilmu tertentu, seperti khusus untuk tahfidz al-Qur'an, iptek, ketrampilan atau kaderisasi gerakanPerkembangan model pendidikan di pesantren ini juga didukung dengan perkembangan elemen-elemennya. Jika pesantren awal cukup dengan masjid dan asrama, pesantren modern memiliki kelas-kelas, dan bahkan sarana dan prasarana yang cukup canggih.
Potret pesantren
Potret Pesantren tidak terelepas dari definisinya, yaitu sebagai sebuah tempat pendidikan santri. Para ahli berbeda-beda dalam menyebutkan unsur-unsur yang harus ada di dalam pesantren. Ada yang menyebutkan 3 unsur, yaitu, santri, asrama dan kyai. Tetapi ada pula yang menyebutkan 5 unsur, yaitu ketiga unsur di depan dengan ditambah dengan unsur masjid dan pengajaran kitab kuning.
Terlepas dari perbedaan angka yang menjadi unsur pesantren, semua sepakat bahwa kyai menempati posisi sentral di dalam sebuah pesantren. Kepada kyai itulah santri belajar ilmu pengetahuan agama. Agar proses belajar itu lebih lancar, maka di sekitar rumah kyai dibangun Asrama untuk para santri. Disamping itu pada umumnya, juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Selain sebagai pengajar, kayi juga menjadi pemimpin di pesantren tersebut. Dalam kepemimpinannya kyai memegang kekuasaan yang hampir mutlak. Visi dan misi, kurikulum, managemen dan berbagai urusan lain di pesantren, semuanya tergantung kepada dawuh kyai. Memangb kadang-kadang santri senior diberi tugas menjalankan teknis pendidikan juga di pesantren itu, atau menggantikan kyai dalam mengajar apabila ada udzur (badal).
Model-model Pesantren
Seiring dengan perkembangan jaman, pesantren-pesantren yang ada berusaha mengembangkan diri sesuai dengan tuntutan jaman. Sebab inilah maka unsur-unsur pesantren itu kini bisa berkembang menjadi bermacam-macam. Meskipun demikian secara makro pesantren dibagi menjadi 4 tipe1. Pesantren Tipe A, yaitu pesantren yang sangat tradisional. Para santri pada umumnya tinggal di asrama yang terletak di sekitar rumah kyai. Mereka di pesantren hanya belajar kitab kuning. Cara pengajarannya pun berjalan di antara sistem sorogan dan bandongan2. Pesantren Tipe B, yaitu pesantren yang memadukan antara mengaji secara individual (sorogan) tetapi juga menyelenggarakan pendidikan formal yang ada di bawah departemen pendidikan atau departemen agama. Hanya saja lembaga pendidikan formal itu khusus untuk santri pesantren tersebut.
3. Pesantren tipe C, hampir sama dengan tipe B tetapi lembaga pendidikannya terbuka untuk umum
4. Pesantren type D, yaitu pesantren yang tidak memiliki lembaga pendidikan formal, tetapi memberikan kesempatan kepada santri untuk belajar pada jenjang pendidikan formal di luar pesantren.
Fungsi pesantren
Secara kelembagaan, pesantren termasuk sebagai lembaga pendidikan. Namun pendidikan di pesantren tidak berhenti sebagai aktifitas transfer ilmu saja. Azyumardi Azra menyebutkan, selain sebagai transfer ilmu, pesantren juga sebagai kaderisasi ulama' dan sebagai pemelihara budaya Islam. Dua unsur tambahan tersebut perlu ditekankan sebab seorang ulama' bukan sekedar orang yang memiliki penguasaan ilmu yang tinggi, tetapi juga harus disertai dengan kemampuannya mengamalkan ilmu tersebut dalam kehidupannya. Pengamalan ilmu keislaman dalam kehidupan sehari-hari akan mendorong seseorang untuk berkreasi dalam melandingkan pesan-pesan syari' (pembuat syariat) sesuai dengan kondisi dan situasi setempat. Dari sanalah muncul budaya Islam.
Mutu pendidikan tidak terlepas dairi kurikulum yang dipakai dan dilaksanakan sebuah institusi pendidikan, Pesantren yang mempunyai ciri khas dalam dunia pendidikan memadukan antara ilmu berbasis agama dan umum. Tentu saja isi kurikulum tak terlepas dari campur tangan pemerintah. Untuk itu perlu adanya strategi dan pengembangan kurikulum pesantren yang mandiri dan kuat dalam menghadapi tantangan zaman.

BAB II
PEMBAHASAN

LANGKAH DAN DASAR KURIKULUM PESANTREN
Pendahuluan : Regulasi Pemerintah
• Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Th. 2003)
1. Standar Nasional Pendidikan, Pasal 35
2. Pengembangan Kurikulum, Pasal 36
3. Evaluasi, akreditasi dan Sertifikasi
4. Pendidikan Non Formal, Pasal 26 ayat 6
5. Pendidikan Informal Pasal 27 ayat 2
6. Pendidikan Keagamaan, Pasal 30 ayat 3 dan 4
• Undang-undang Guru dan Dosen • PP Tentang Kurikulum Kompetensi
• Keputusan Mendiknas tentang UN • RUU Badan Hukum Pendidikan

Standar Nasional Pendidikan : Acuan Pengembangan Kurikulum
• Standar nasional pendidikan terdiri atas (i) standar isi, (ii) proses, (iii) kompetensi lulusan, (iv) tenaga kependidikan (v) sarana dan prasarana (vi) pengelolaan, (vii) pembiayaan, (viii) dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala (Pasal 35 Ayat 1 UU Sisdiknas)• Pasal 36 UU Sisdiknas
1. Pengembangan Kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional
2. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik Standar isi Kurikulum Nasional •
Kurikulum disusun harus memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. Peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agama;
h. dinamika perkembangan global; dan
i. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
• Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat :
a. pendidikan agama; b. pendidikan kewarganegaraan; c. bahasa; d. matematika e. ilmu pengetahuan alam f. Ilmu pengetahuan sosial g. seni dan budaya; h. pendidikan jasmani dan olahraga; i. Keterampilan/kejuruan; dan Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi j. Muatan lokal

Pesantren Dalam Sistem Pendidikan Nasional
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah Santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.
Perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan terhadap pesantren, baik dari segi manajemen, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading.
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa). Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga tafaqquh fid din yang mengemban untuk meneruskan risalah Nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam.
Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai-niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang mendalam pengetahuan keislamannya. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, di mana para santri kembali setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan-agama di Indonesia. Pesantren yang paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Jawa Timur. Tegalsari didirikan pada ahkir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19.
Namun, jika melihat beberapa hasil studi yang dilakukan beberapa sarjana, seperti Dhofier (1870), Martin (1740), dan ilmuwan lainnya, ada indikasi bahwa munculnya pesantren tersebut diperkirakan sekitar abad ke-19. Akan tetapi, terlepas dari persoalan tersebut yang jelas signifikansi pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam tidak dapat diabaikan dari kehidupan masyarakat muslim pada masa itu.
Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satu yang menjadi contoh utama adalah, selain pembentukan dan terbentuknya kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam, juga merupakan gerakan-gerakan protes terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Di mana gerakan protes tersebut selalu dimotori dari dan oleh para penghuni pesantren. Setidaknya dapat disebutkanya misalnya; pemberontakan petani di Cilegon-Banten 1888, (Sartono Kartodirjo; 1984) Jihad Aceh 1873, gerakan yang dimotori oleh H. Ahmad Ripangi Kalisalak 1786-1875) dan yang lainnya merupakan fakta yang tidak dapat dibantah bahwa pesantren mempunyai peran yang cukup besar dalam perjalanan sejarah Islam di Indonesia. (Steenbrink; 1984)
Apabila kita cermati, di Indonesia terdapat sekira 12.000 pesantren yang tersebar di seluruh nusantara dengan berbeda bentuk dan modelnya. Bahkan, dihuni tidak kurang dari tiga juta santri. Pendidikan Islam sekarang di Indonesia kini begitu luas. Sehingga, beranekaragam dan bagaimanapun aliran Islam yang dianut oleh seseorang, pasti ada pesantren atau sekolah Islam yang sesuai.
Karena itu, menurut Tholkhah, pesantren seharusnya mampu menghidupkan fungsi-fungsi sebagai berikut, 1) pesantren sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi al-din) dan nilai-nilai Islam (Islamic vaues); 2) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial; dan 3) pesantren sebagai lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineering) atau perkembangan masyarakat (community development). Semua itu, menurutnya hanya bisa dilakukan jika pesantren mampu melakukan proses perawatan tradisi-tradisi yang baik dan sekaligus mengadaptasi perkembangan keilmuan baru yang lebih baik, sehingga mampu memainkan peranan sebagai agent of change.
Pesantren dan Tuntutan Perubahan Zaman
Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda. (Aqib Suminto; 1985). Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum testandardisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama. Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja. Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.
Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus-menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.
Mengutip Sayid Agil Siraj (2007), ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kiainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul. Prinsip pesantren adalah al muhafadzah 'ala al qadim al shalih, wa al akhdzu bi al jadid al ashlah, yaitu tetap memegang tradisi yang positif, dan mengimbangi dengan mengambil hal-hal baru yang positif. Persoalan-persoalan yang berpautan dengan civic values akan bisa dibenahi melalui prinsip-prinsip yang dipegang pesantren selama ini dan tentunya dengan perombakan yang efektif, berdaya guna, serta mampu memberikan kesejajaran sebagai umat manusia (al musawah bain al nas).
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang-bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
Keenam, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
Ketujuh, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian. (Saifuddin Amir, 2006)
Format Pesantren Masa Depan
Berangkat dari kenyataan, jelas pesantren di masa yang akan datang dituntut berbenah, menata diri dalam mengahadapi persaingan bisnis pendidikan seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah dan lainnya. Tapi perubahan dan pembenahan yang dimaksud hanya sebatas menejemen dan bukan coraknya apalagi berganti baju dari salafiyah ke mu'asyir (moderen), karena hal itu hanya akan menghancurkan nilai-nilai positif Pesantren seperti yang terjadi sekarang ini, lulusannya ora iso ngaji.
Maka, idealnya pesantren ke depan harus bisa mengimbangi tuntutan zaman dengan mempertahankan tradisi dan nilai-nilai kesalafannya. Pertahankan pendidikan formal Pesantren khususnya kitab kuning dari Ibtidaiyah sampai Aliyah sebagai KBM wajib santri dan mengimbanginya dengan pengajian tambahan, kegiatan extra seperti kursus computer, bahasa inggris, skill lainnya dan program paket A, B dan C untuk mendapatkan Ijazah formalnya. Atau dengan menjalin kerjasama dengan sekolah lain untuk mengikuti persamaan. Jika hal ini terjadi, akan lahirlah ustad-ustad, ulama dan fuqoha yang mumpuni.
Sekarang ini, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.
Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka.
Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
Pesantren dalam Kebijakan Sisdiknas
Sudah tidak diragukan lagi bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan, pesantren mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya.
Pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong dan dikembangkan. Proses pembangunan manusia yang dilakukan pesantren tidak bisa dipisahkan dari proses pembangunan manusia yang tengah diupayakan pemerintah.
Proses pengembangan dunia pesantren yang selain menjadi tanggung jawab internal pesantren, juga harus didukung oleh perhatian yang serius dari proses pembangunan pemerintah. Meningkatkan dan mengembangkan peran serta pesantren dalam proses pembangunan merupakan langkah strategis dalam membangun masyarakat, daerah, bangsa, dan negara. Terlebih, dalam kondisi yang tengah mengalami krisis (degradasi) moral. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membentuk dan mengembangkan nilai-nilai moral, harus menjadi pelopor sekaligus inspirator pembangkit moral bangsa. Sehingga, pembangunan tidak menjadi hampa melainkan lebih bernilai dan bermakna.
Pesantren pada umumnya bersifat mandiri, tidak tergantung kepada pemerintah atau kekuasaan yang ada. Karena sifat mandirinya itu, pesantren bisa memegang teguh kemurniannya sebagai lembaga pendidikan Islam. Karena itu, pesantren tidak mudah disusupi oleh ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Pendidikan pondok pesantren yang merupakan bagian dari Sistem Pendidikan Nasional memiliki 3 unsur utama yaitu: 1) Kyai sebagai pendidik sekaligus pemilik pondok dan para santri; 2) Kurikulum pondok pesantren; dan 3) Sarana peribadatan dan pendidikan, seperti masjid, rumah kyai, dan pondok, serta sebagian madrasah dan bengkel-bengkel kerja keterampilan. Kegiatannya terangkum dalam "Tri Dharma Pondok pesantren" yaitu: 1) Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT; 2) Pengembangan keilmuan yang bermanfaat; dan 3) Pengabdian kepada agama, masyarakat, dan negara.
Merujuk pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, posisi dan keberadaan pesantren sebenarnya memiliki tempat yang istimewa. Namun, kenyataan ini belum disadari oleh mayoritas masyarakat muslim. Karena kelahiran Undang-undang ini masih amat belia dan belum sebanding dengan usia perkembangan pesantren di Indonesia. Keistimewaan pesantren dalam sistem pendidikan nasional dapat kita lihat dari ketentuan dan penjelasan pasal-pasal dalam Undang-udang Sisdiknas sebagai berikut:
Dalam Pasal 3 UU Sisdiknas dijelaskan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ketentuan ini tentu saja sudah berlaku dan diimplementasikan di pesantren. Pesantren sudah sejak lama menjadi lembaga yang membentuk watak dan peradaban bangsa serta mencerdaskan kehidupan bangsa yang berbasis pada keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia.
Ketentuan dalam BAB III tentang Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan, pada Pasal 4 dijelaskan bahwa: (1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. (2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna. (3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. (4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran. (5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. (6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Semua prinsip penyelenggaraan pendidikan tersebut sampai saat ini masih berlaku dan dijalankan di pesantren. Karena itu, pesantren sebetulnya telah mengimplementasikan ketentuan dalam penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan Sistem pendidikan nasional.
Tidak hanya itu, keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang didirikan atas peran serta masyarakat, telah mendapatkan legitimasi dalam Undang-undang Sisdiknas. Ketentuan mengenai Hak dan Kewajiban Masyarakat pada Pasal 8 menegaskan bahwa Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Sedangkan dalam Pasal 9 dijelaskan bahwa Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan. Ketentuan ini berarti menjamin eksistendi dan keberadaan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat dan diakomodir dalam sistem pendidikan nasional. Hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 15 tentang jenis pendidikan yang menyatakan bahwa Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Pesantren adalah salah satu jenis pendidikan yang concern di bidang keagamaan.
Secara khusus, ketentuan tentang pendidikan keagamaan ini dijelaskan dalam Pasal 30 Undang-Undang Sisdiknas yang menegaskan: (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2) Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama. (3) Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal. (4) Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, dan bentuk lain yang sejenis.
Labih jauh lagi, saat ini pesantren tidak hanya berfungsi sebagai sarana pendidikan keagamaan semata. Namun, dalam perkembangannya ternyata banyak juga pesantren yang berfungsi sebagai sarana pendidikan nonformal, dimana para santrinya dibimbing dan dididik untuk memiliki skill dan keterampilan atau kecakapan hidup sesuai dengan bakat para santrinya. Ketentuan mengenai lembaga pendidikan nonformal ini termuat dalam Pasal 26 yang menegaskan: (1) Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat. (2) Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. (3) Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. (4) Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. (5) Kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (6) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.
Keberadaan pesantren sebagai bagian dari peran serta masyarakat dalam pendidikan juga mendapat penguatan dari UU Sisdiknas. Pasal 54 menjelaskan: (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
Bahkan, pesantren yang merupakan Pendidikan Berbasis Masyarakat diakui keberadaannya dan dijamin pendanaannya oleh pemerintah maupun pemerintah daerah. Pasal 55 menegaskan: (1) Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. (2) Penyelenggara pendidikan berbasis masyarakat mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar nasional pendidikan. (3) Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (4) Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Demikianlah, ternyata posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memilki tempat dan posisi yang istimewa. Karena itu, sudah sepantasnya jika kalangan pesantren terus berupaya melakukan berbagai perbaikan dan meningkatkan kualitas serta mutu pendidikan di pesantren. Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 - 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu: 1) meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, 2) meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan 3) meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik. Maka, dunia pesantren harus bisa merespon dan berpartisipasi aktif dalam mencapai kebijakan di bidang pendidikan tersebut. Pesantren tidak perlu merasa minder, kerdil, kolot atau terbelakang. Karena posisi pesantren dalam sistem pendidikan nasional memiliki tujuan yang sama dengan lembaga pendidikan formal lainnya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Epistemologi “Pesantren” Dalam Perspektif Fenomenologi
dir="ltr" class="MsoNormal">Rasanya sulit, atau bahkan mustahil, mengkaji suatu permasalahan tanpa didahului oleh pengetahuan dan asumsi dasar tentang permasalahan yang akan dikaji tersebut. Meskipun Weber pernah mengkaji problematika fenomena keberagamaan dengan klaim bahwa ia tidak perlu mulai dari definisi agama karena agama akan terdefinisikan dengan sendirinya setelah usai dilakukan pengamatan terhadap gejala-gejala keberagamaan dalam masyarakat, namun secara objektif sulit menerima argumen Weber tersebut. Karena pada taraf yang paling awal, ketika ia mengamati gejala-gejala kehidupan keagamaan maka sesunggunya dalam alam bawah sadar ia telah memiliki persepsi dan konsepsi tentang agama itu sendiri, seberapun sederhananya.Demikian halnya dengan perbincangan soal Pesantren. Kita akan terjebak dalam konflik tidak berpenghabisan manakala tidak ada kesamaan persepsi tentang ontologi pesantren tersebut. Secara etimologis, pesantren berasal dari kata dasar ‘santri’ yang mendapat awalan pe dan akhiran an yang berarti menunjukkan makna tempat. Dengan demikian, maka Pesantren adalah tempat santri.

Sementara terdapat sejumlah teori yang menjelaskan asal-usul kata santri. Pertama, berasal dari kata sastri, bahasa sanskerta yang artinya melek huruf. Kedua, berasal dari cantrik, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti guru ke mana guru pergi menetap.1 Ketiga, berasal dari bahasa India yangbermakna orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau ilmu pengetahuan. 2 Sedangkan kata pondok berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti asrama, rumah, hotel atau tempat tinggal sederhana.3 Secara umum, sebagian besar teori yang menjelaskan epistemologi pesantren selalu bersifat physical oriented. Teori-teori tersebut umumnya menyebut integrasi 5 elemen pokok pesantren. Yaitu (1) Kiyai (2) Santri (3) Masjid (4) Pondok dan (5) Pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Padahal, secara faktual, sesungguhnya kehidupan pesantren memiliki keragaman dan dinamika yang sangat variatif sejalan dengan setting sosial budaya masyarakat tempat pesantren berada. Di sebagian besar tempat, bisa jadi kelima unsur pesantren itu terpenuhi, namun di sebagaian daerah bisa jadi salah-satu atau dua unsur tersebut tidak terpenuhi. Apakah dengan demikian tempat ini tidak layak disebut pesantren ?. Atau barangkali telah terjadi kesalahan metodologis dalam merumuskan epistemologi pesantren.

Dari sinilah penulis mencoba mengkaji terminologi pesantren dalam perspektif fenomenologi. Secara sederhana, fenomenologi merupakan sebuah metode (manhaj) untuk menemukan hakikat suatu objek kajian. Urgensi dari metode ini bersumber dari kenyataan bahwa suatu kajian sering mengalami kegagalan secara ilmiah/akademik karena “dijerumuskan” oleh sistem pengetahuan yang telah mapan dan tidak pernah dipertanyakan ulang. Cara kerja operasional metode fenomenologi adalah dengan apa yang disebut dengan epoche, yaitu segala bentuk penilaian yang telah dikonsepsikan sebelumnya harus ditunda lebih dahulu atau diletakkan dalam tanda kurung sehingga sampai pada titik fenomen yang paling fundamental dan tidak dapat dikurung lagi. Maka fenomenologi adalah metode pengkajian yang berorientasi pada penemuan fundamental structure dari suatu objek.
class="MsoNormal">1 Drs. Yasmadi, MA. Modernisasi Pesantren (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal. 61.
class="MsoNormal">2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES, 1994), hal. 18.
3 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 138.
4 Mudji Sutrisno (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Jaman (Yogyakarta : Kanisius, 1997), hal. 90-91.

style="font-weight: 700">II
Jika menelusuri kondisi pesantren dengan sekian banyak dan kompleks varian dan dinamikannya, baik secara fisik, kultur, pendidikan, maupun kelembagaannya, maka pesantren secara isthilahy (epistemologis) sesungguhnya tidaklah sesederhana seperti yang teridentifikasi dengan adanya kiyai, santri, maupun masjid. Karena konsepsi dasar dari kategori kiyai dan santri saja sampai sejauh ini masih bersifat multi-interpretable. Selain itu kategorisasi yang tidak didasarkan pada hakikat intrinsik dari suatu objek merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Maka dalam wacana fenomenologi, Pesantren sesungguhnya adalah suatu lembaga atau institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki tingkat moralitas keagamaan Islam dan sosial yang tinggi yang diaktualisasikan dalam sistem pendidikan dan pengajarannya. Dengan demikian, maka orientasi gerak dan pengajaran ilmu-ilmu agama, sosial maupun eksak di pesantren adalah tidak lebih dari sebuah proses pembentukan karakter (character building) yang islami.

II. Disorientasi dan Keniscayaan Reorientasi Pengembangan Pergerakan Pesantren
Berguru pada filosofi tindakan Tuhan memberikan mu’jizat kepada rasul-Nya yang relevan dan up to date dengan permasalahan kemanusiaan pada masanya, maka demikianlah seharusnya Pesantren membekali dirinya dalam proses pengembangannya. Akselerasi perubahan dan dinamika kehidupan sosial di era global sekarang ini terjadi secara luar biasa dan di luar perkiraan banyak orang. Yang menjadi sebuah ironi adalah perubahan-perubahan yang diakibatkan oleh kemajuan spektakuler di bidang teknologi kecerdasan buatan (intellegencia artificial) itu ternyata juga berakibat pada perubahan tata nilai keagamaan dan sosial. Secara rinci, Kehidupan global saat ini ditandai oleh 4 hal : 1. Kemajuan IPTEK 2. Perdagangan bebas 3. Kerjasama regional dan internasional yang mengikis sekat-sekat ideologis 4. Meningkatnya kesadaran HAM Maka untuk mengantisipasi perubahan tata nilai baru dalam era global tersebut, UNESCO, misalnya, telah mencanangkan 4 pilar belajar, yaitu learning to think, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
style="font-size: 9pt">Itulah kondisi makro yang sekarang ini sedang menghimpit dunia Pesantren. Apakah Pesantren sekarang sudah berfikir tentang apa yang bisa diperbuat di tengah atmosfir kehidupan global seperti itu serta apa konstribusi yang bisa disumbangkan untuk turut andil dalam membentuk kepribadian bangsa. Atau bahkan apakah pesantren bisa bertahan di tengah hegemoni produk-produk pemikiran dan tata nilai hidup globalisasi. Jika Nabi Ibrahim harus membekali diri dengan kekuatan argumentasi pemikiran, hal itu dimaksudkan untuk melayani dan mengimbangi masyarakatnya yang memiliki tradisi berfikir yang kuat, Nabi Musa dengan kemampuan magic karena kaumnya gemar dalam perdukunan, Nabi Isa dengan keahlian pengobatan karena kecenderungan umatnya pada dunia pengobatan, dan Nabi Muhammad dengan kemampuan sastra karena orang Arab punya kelebihan dalam tata bahasa, makaapakah Pesantren akan tetap menggunakan mu’jizat yang pernah digunakan menghadapi dan menyelesaikan problematika masyarakat pada era 60—70-an untuk menyelesaiakan problematika sosial- budaya era global/tahun 2000-an ?
Pesantren perlu melakukan reorientasi pada misi dan visi pendidikannya sehingga pergerakan pesantren akan lebih membumi. Di era penjajahan, pesantren di berbagai daerah menjadi basis pergerakan melawan kolonialisme. Para kiyai/ulama’ seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro
mempelopori perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Namun ketika perlawanan fisik ini dirasa gagal, mereka mengalihkan perlawanan tersebut ke bidang pendidikan dengan membuat sistem pendidikan sendiri.5 Lalu, apakah pesantren saat ini telah memiliki peran signifikan seperti yang pernah dimilikinya pada era penjajahan dan era 60-70-an ???. Persoalan krusial yang dihadapi masyarakat saat ini adalah lemahnya integritas moral, baik di tingkat masyarakat kelas menengah-atas maupun di kalangan grassroot. Indikator dari problem ini terlihat dari “budaya” korupsi yang seolah sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial, maraknya tayangan pornografi di televisi, majalah, koran dan media cetak lainnya. Ada yang menyebut bahwa Indonesia saat ini merupakan surga pornografi kedua setelah Rusia. Sementara diketahui secara umum bahwa Indonesia merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dalam situasi kenyataan seperti ini, apa yang bisa diperbuat pesantren ?. Ironinya lagi, artis yang saat ini menjadi icon gerakan porno/sensualitas justru lahir dari kota pesantren, Pasuruan. Tidak sekalipun terdengar suara protes keras dan tindakan real dari pesantren yang mempersoalkan fenomena tersebut.
Saat ini pesantren justru lebih banyak terjebak dalam perjuangan kepentingan yang bersifat pragmatis oportunis, terlebih lagi pada era pasca Orde Baru, terutama sekali pada saat-saat menjelang Pemilu. Pesantren dalam banyak kesempatan justru menjadi ajang pertarungan kepentingan perebutan kekuasaan atas nama agama. Generasi masa lalu menjadikan politik sebagai media memperjuangkan kepentingan agama, saat ini justru agama dijadikan ‘tunggangan’ kepentingan politik. Ini bisa terjadi karena Pesantren tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam konstalasi perubahan sosial yang sedang berlangsung. Pesantren saat ini ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah gelombang laut dengan tanpa tujuan. Ia akan berlayar menuju ke tempat yang diinginkan oleh nahkodanya. Di tengah arus perubahan tata nilai sosial-budaya seperti sekarang ini, Pesantren tampak tidak memiliki sense of crisis sama sekali.
class="MsoNormal">Maka tidak mengherankan jika fungsi pesantren saat ini secara faktual sudah tergantikan oleh lembaga/institusi yang lahir justru dari kalangan akademisi/kampus (lembaga pendidikan yang diidentikkan dengan sekuler). Gerakan dakwah kampus dalam banyak kasus justru lebih efektif dalam melakukan perubahan sosial. Kemenangan PKS di ibu kota menjadi fenomena yang layak untuk dikaji oleh dunia pesantren. Masyarakat ibu kota merepresentasikan masyarakat era global. Sementara PKS mewakili institusi yang lahir dari kalangan non-pesantren sebagai kebalikan dari PKB. Namun kenapa masyarakat lebih menaruh kepercayaan terhadap PKS daripada PKB ? Atas dasar itulah maka pesantren perlu melakukan reorientasi gerak pengajaran dan pendidikan, serta perlu mulai mengkaji pendekatan baru dalam sistem pendidikannya :

1. Religiusitas (religiousity, bukan religion = agama) sebagai Orientasi Gerak Pesantren
style="text-align: justify; direction: ltr; unicode-bidi: embed; margin-top: 0; margin-bottom: 0" dir="ltr" class="MsoNormal">face="Verdana" style="font-size: 9pt">Rasa keberagamaan bukanlah agama. Agama lebih bersifat formal-komunal tetapi keberagamaan lebih bersifat personal. Rasa keberagamaan merupakan core dari agama itu sendiri. Tidak setiap pakar agama memiliki rasa keagamaan. Sebaliknya tidak setiap orang yang memiliki rasa keberagamaan memiliki pengetahuan tentang agama sebanding dengan pengalamannya. Rasa dan semangat keberagamaan tersebut menurut Nurcholish Madjid termanifestasi dalam tasawuf. Celakanya, justru aspek yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan inilah yang cenderung terabaikan dan hanya
5 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta : LP3ES, 1994), hal.. 211

IV
dikaji sambil lalu.6 Religiusitas bisa diperoleh melalui dua cara. Pertama, pengkajian yang seriusterhadap tasawuf. Kedua, pembentukan miliu/lingkungan yang representatif bagi pengembangan potensi rasa keberagamaan. Pengkajian dan penghayatan terhadap dimensi spiritualitas inilah yang kelak akan menghasilkan generasi-generasi yang peka terhadap aspek moralitas. Pesantren juga perlu memberikan kesadaran baru bagi para santrinya bahwa keberagamaan merupakan proses yang tidak pernah berakhir. Sementara agama adalah produk yang sudah jadi. Sudah sekian lama terjadi miss-konsepsi tentang agama dan keberagamaan di dunia pesantren. Rasa keberagamaan selama ini direduksi pada sebatas pengkajian terhadap ilmu agama an sich. Dimensi rasionalitas, spiritualitas dan bahkan penghayatan akan nilai-nilai agama itu sendiri malah sering terabaikan. Akibatnya, lahir generasi-generasi yang kaya akan khazanah ilmu agama tanpa rasa keagamaan, kaya ilmu pengetahuan tanpa sikap keilmuan, generasai dengan predikat santri tanpa mental kesantrian. Lebih lanjut, dalam kehidupan praktis, pesantren hampir tidak memiliki konstribusi dan peran yang aktif dalam melakukan perubahan sosial menuju ke kehidupan yang lebih beradab dan berbudaya.
Keengganan sebagian pesantren untuk menyelenggarakan pendidikan “formal” di lingkungannya dengan argumen ilmu tersebut bukan ilmu agama menunjukkan adanya kesalahan dalam pemahaman terhadap agama itu sendiri
6 Drs. Yasmadi, MA. Modernisasi Pesantren (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal. 79.
V
2. Utilitas (utility/kebutuhan/kegunaan fungsional) sebagai Pendekatan dalam kurikulum Pendidikan. Menurut Moh. Syahrur, sebuah ironi dalam sistem pendidikan umat Islam sekarang adalah terjadinya in-efesiensi dalam sistem dan pendekatan terhadap kajian-kajian keilmuan Islam klasik. Hampir di setiap lembaga pendidikan Islam tradisional (pesantren) terjadi pembahasan yang terlalu detail dan rumit terhadap bentuk-bentuk ritual keagamaan yang menurutnya sebenarnya bisa dijelaskan secara sederhana dan dalam periode waktu yang tidak terlalu lama. pendalaman yang terlalu njlimet terhadap persoalan-persoalan tersebut tidak banyak memberikan nilai positif sertatidak praktis.7 Apa yang dinyatakan oleh Syahrur agaknya sejalan dengan keraguan Nurcholish Madjid yang mempertanyakan apakah pengetahuan dan keahlian dalam suatu bidang, fiqh misalnya, secara keseluruhan relevan dengan keadaan sekarang.8 Maka kajian keilmuan di pesantren mestinyadilakukan dari sudut pandang persoalan apa yang benar-benar bermanfaat secara amaliyah/praktis bagi santri di masa depan.Dengan berpijak pada pendekatan ini maka pengajaran/pembelajaran tentang materi-materi keilmuan di pesantren yang meliputi fiqh, aqidah, dan lainnya harus ditinjau ulang dan dirumuskan kembali dengan menggunakan asas nilai manfaat praktis dan “pragmatis” bagi santri di masa depan.
PendahuluanDewasa ini kesadaran umat Islam terhadap perlunya inovasi untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam semakin mencuat. Adapsi Inovasi ini dilakukan diantaranya melalui cara mendirikan lembaga baru dengan orientasi yang baru pula. Departemen Agama RI sejak pada era 70-an, telah banyak merespon pendirian lembaga baru, seperti: pendirian Pesantren model baru (khalafi) (Rahardjo,1985). Pesantren model baru memiliki karakteristik tersendiri yang keseluruhan berbeda dari pesantren model lama (salafi). Menurut Rahardjo (1985) bahwa ide awal dari pendirian pesantren model baru mencuat ke permukaan sejak periode Departemen Agama RI dipimpin oleh Mukti Ali
























DAFTAR ISI



BAB 1 – PENDAHULUAN
1. Latar Belakang dan Perumusan Masalah……………………….. 1
2. Tujuan Penelitian ………………………………………………. 2
3. Metode Penelitian ………………………………………………. 3

BAB 2 – KAJIAN PUSTAKA
1. Unsur-unsur sebuah pesantren………………………………….. 5
a) kyai ……………………………………………………. 5
b) masjid………………………………………………….. 6
c) santri…………………………………………………… 6
d) pondok…………………………………………………. 7
e) kitab-kitab Islam klasik ………………………………… 7
2. Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia………………….. 8
3. Sistem pendidikan pesantren…………………………………… 11

BAB 3 – SEJARAH SINGKAT PPMP ‘DARUR RIDWAN’
1. Profil Singkat PPMP Darur Ridwan……………………………… 13
2. Tujuan berdiri Darur Ridwan ……………………………… …… 14
3. Riwayat pembangunan fasilitas Darur Ridwan…………………… 15

BAB 4 – PERAN SANTRI DI PPMP ‘DARUR RIDWAN’
1.Identifikasi santri…………………………………………………… 18
a) Berasal dari mana?……………………………………… 18
b) Mengapa memilih sekolah pesantren?………………….. 19
c) Pengaruh orangtua………………………………………. 20
d) Statistik-statistik jumlah santri……………………………. 21
e) Cita-cita santri……………………………………………. 22
f) Mengapa santri keluar sebelum lulus?…………………… 23

2. Peran santri di luar pondok pesantren…………………………… 23
3. Profil Kehidupan Sehari-hari ……………………………………. 25

BAB 5 – PERAN KYAI DI PPMP ‘DARUR RIDWAN’
1. Riwayat hidup KH Aslam Suryono Hadi…………………………. 29
2. Peran kyai di dalam pondok pesantren……………………………… 30
3. Peran kyai di luar pondok pesantren……………………………… 32

BAB 6 – KURIKULUM SEKOLAH DI PPMP ‘DARUR RIDWAN’
1. Profil Pondok Modern Gontor…………………………………….. 35
2. Kurikulum pesantren Darur Ridwan……………………………….. 36
a) Ilmu Umum………………………………………………. 37
b) Ilmu Agama……………………………………………….. 38
c) Ekstrakurikuler…………………………………………... 38

BAB 7 – PENUTUP
1. Kesimpulan……………………………………………………….. 40
2. Saran……………………………………………………………… 43


DAFTAR KEPUSTAKAAN


LAMPIRAN
BAB 1 – PENDAHULUAN

Latar Belakang dan Perumusan Masalah:
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang diperkenalkan di Jawa sekitar 500 tahun yang lalu. Sejak saat itu, lembaga pesantren tersebut telah mengalami banyak perubahan dan memainkan berbagai macam peran dalam masyarakat Indonesia.

Pada zaman walisongo, pondok pesantren memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Juga pada zaman penjajahan Belanda, hampir semua peperangan melawan pemerintah kolonial Belanda bersumber atau paling tidak dapat dukungan sepenuhnya dari pesantren (Hasbullah 1999:149). Selanjutnya, pondok pesantren berperan dalam era kebangkitan Islam di Indonesia yang menurut Prof. Azyumardi Azra telah terlihat dalam dua dekade terakhir ini. Akhirnya, pada awal abad ke-21 ini, dalam konteks peran Amerika Serikat melawan terorisme dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali[1], pondok pesantren dituding memainkan peran sebagai lembaga pendidikan yang menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Tuduhan tersebut adalah hal yang sangat serius bagi lembaga-lembaga pondok pesantren di Indonesia, terutama pada saat ini ketika Amerika Serikat dan sekutunya sedang mencari dan mencoba menebak tindakan berikut jaringan teroris yang ternyata sudah muncul di Indonesia.

Stigma ‘sarang teroris’ yang belakangan ini melekat pada pondok pesantren di Indonesia berdasarkan dari proses pencarian dan penangkapan pelaku peledakan bom di Bali. Ada dua hal utama dari investigasi peledakan bom di Bali tersebut yang penting dalam tuduhan pondok pesantren ini. Pertama, penangkapan Kyai Abubakar Basyir yang dituduh berkaitan dengan kepemimpinan jaringan teroris Jemaah Islamiyah (JI) di Indonesia dan Asia Tenggara. Kedua, penangkapan dan pengakuan tiga orang saudara dari pondok pesantren di desa Tenggulun, Jawa Timur yang merencanakan dan melakukan peledakan bom di Bali. Ini berarti bahwa memang ada kaitan di antara pondok pesantren di Indonesia dan jaringan teroris internasional.

Masalahnya muncul karena bukti ini harus dilihat dengan sikap proporsional. Walaupun beberapa pondok pesantren dituduh berkaitan dengan jaringan teroris internasional dan tindakan ekstrim, itu tidak berarti bahwa semua pondok pesantren menyebarkan ajaran Islam ekstrim.

Untuk mencoba menjawab pertanyaan bagaimana posisi pondok pesantren terhadap proses penyebaran ajaran Islam ekstrim di Indonesia, perlu didefinisikan dulu, apa maksud dari ekstrim?

Pada umumnya, sesuatu yang ekstrim adalah sesuatu yang kurang seimbang. Sesuatu yang luar biasa, yang kelebihan, dan yang di luar nilai-nilai umum. Misalnya olahraga ekstrim, bahasa ekstrim atau cuaca ekstrim. Dalam konteks agama, tindakan ekstrim termasuk tindakan yang mendorong kekerasan misalnya: teroris yang meledakkan bom dengan tujuan membunuh diri dan sebanyak mungkin orang lain. Maupun pendapat (atau ajaran) ekstrim adalah pendapat yang tertutup dan bersikap kurang toleran terhadap agama atau kepercayaan lain. Bisa dikatakan juga bahwa banyak ajaran ekstrim menolak kemajuan teknologi dan modernisme di masyarakat karena dianggap sebagai sesuatu yang mengancam kesucian masyarakat.

Maka ada tiga sifat yang harus dimiliki untuk menentukan kalau ajaran itu ajaran ekstrim. Yaitu: mendorong tindakan keras, memiliki pikiran yang tertutup dan kurang toleran, dan memiliki sikap melawan modernisme.


Tujuan Penelitian:
Menurut Singelton dan Straits (1999:322), tujuan studi lapangan adalah untuk: sungguh paham apa yang obyek studinya berpikir dan apa yang mereka lakukan; untuk mengerti apa yang mereka mengerti; dan untuk benar-benar memperdalam budaya mereka. Penelitian ini pada dasarnya bertujuan untuk membuat gambaran deskriptif mengenai pondok pesantren Darur Ridwan, Parangharjo, Banyuwangi, Jawa Timur. Saya berharap laporan ini bermanfaat sebagai pengantar dunia pesantren yang sampai sekarang masih belum diketahui dan dipahami masyarakat secara umum di negara-negara Barat.

Dalam penelitian ini, saya ingin menjawab pertanyaan berikut ini: Siapa bersekolah di pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa mereka memilih pendidikan agama? Siapa pemimpin pondok pesantren Darur Ridwan dan mengapa dia mendirikan pondok pesantren Darur Ridwan? Apa yang diajar di pondok pesantren Darur Ridwan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, saya berharap saya bisa menjawab satu pertanyaan lagi, yaitu, apakah pondok pesantren Darur Ridwan terlibat dalam pembinaan atau penyebaran ajaran Islam yang moderat atau ekstrim?

Metode Penelitian:
Metode penelitian yang digunakan dalam proyek studi lapangan ini adalah kualitatif studi kasus. Unsur-unsur penelitian kualitatif meliputi analysis yang terbuka dengan fokus penelitian yang bisa berubah dan banyak perhatian terhadap penggunaan wawancara mendalam.

Studi kasus adalah analisa kehidupan unit sosial, misalnya; (satu atau beberapa) kelompok, masyarakat, organisasi atau individu. Studi kasus kadang-kadang digambarkan sebagai metode ‘naturalistik’ yang paling mengutamakan teknik observasi langsung dalam jangka waktu yang lama dan terus-menurus, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian studi kasus sering digunakan untuk memperkenalkan masyarakat umum kepada gaya hidup yang unik dan/atau masalah-masalah yang dihadapi sebuah masyarakat and individu (Encyclopedia of Social Research, 1997).

Ada keragaman teknik observasi dan wawancara mendalam dalam rangka studi kasus. Teknik observasi yang saya gunakan dalam penelitian ini disebut observasi peserta dimana peneliti menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan kelompok yang akan diteliti. Untuk mengobservasi kehidupan masyarakat pondok pesantren Darur Ridwan sebagai peserta, saya harus menetap di pesantren tersebut. Akhirnya saya tinggal bersama keluarga K.H. Aslam dan para santrinya selama kurang lebih empat minggu (tetapi tidak terus menerus). Saya terlibat dalam aktivitas sehari-hari di pondok termasuk berpakaian jilbab, shalat lima kali sehari, pengajian baik di dalam pondok bersama para santri maupun di luar pondok, kelas mata pelajaran umum dan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler.

Sifat positif tentang teknik observasi peserta itu adalah bahwa peneliti lebih gampang diterima, orang yang mau diobservasi menjadi lebih terbuka, kelompok dapat diobservasi dalam lingkungan yang natural dan peneliti mampu memperdalam budayanya serta mengembangkan pengertian yang lebih lengkap mengenai kegiatannya. Namun demikian, juga ada sifat negatif yang bisa mempengaruhi kualitas hasil penelitian; misalnya, peneliti menjadi kurang objektif karena terlalu akrab atau ada hal-hal yang lupa diobservasi karena sudah kebiasaan.

Sebagai peserta kegiatan sehari-hari di pondok, teknik-teknik wawancara yang paling banyak digunakan adalah wawancara non-formal karena sifatnya flexibal, bebas terpimpin, lebih terbuka dan memang lebih cocok untuk suasana santai yang sering saya alami. Namun demikian, teknik wawancara formal juga digunakan dimana rancangan wawancara dipakai sehingga fokus pembicaraan telah di tentukan dengan jelas dan bisa diarahkan oleh peneliti untuk menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat.









BAB 2 – KAJIAN PUSTAKA

Unsur-unsur sebuah pesantren:
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70). Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.

a.Kyai:
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).

Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda, yaitu: 1.sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; 2. gelar kehormatan bagi orang-orang tua pada umumnya; 3.gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).

b.Masjid:
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid. Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai.
c.Santri:
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.

Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim. Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).

d.Pondok:
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu. Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki.

Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama santri dan rumah kyai, termasuk perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadang-kadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.

Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren. Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.

Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).

e.Kitab-Kitab Islam Klasik:
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.

Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi kepentingan tinggi. Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144).

Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1.nahwu dan saraf (morfologi); 2.fiqh; 3.usul fiqh; 4.hadis; 5.tafsir; 6.tauhid; 7.tasawwuf dan etika; dan 8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51).

Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia:
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin. Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru. Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam. Malah pemerintahan penjajahan Belanda membuat kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.

Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149)

Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluas-luasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut.. Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41).

Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.

Menurut survai yang diselenggarakan kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang di Jawa tahun 1942 mencatat jumlah madrasah, pesantren dan murid-muridnya seperti terlihat berikutnya dalam Tabel 1:


TABEL 1: Jumlah pesantren, madrasah dan santri di Jawa dan Madura pada tahun 1942 (Survai kantor Urusan Agama)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren dan Madrasah
Jumlah Santri
Jakarta
167
14 513
Jawa Barat
1 046
69 954
Jawa Tengah
351
21 957
Tawa Timur
307
32 931
Jumlah:
1 871
139 415
(Dhofier, 1985:40)

TABEL 2: Jumlah pesantren dan santri di Jawa pada tahun 1978. (Laporan Departement Agama RI)
Propinsi Daerah
Jumlah Pesantren
Jumlah Santri
Jakarta
27
15 767
Jawa Barat
2 237
305 747
Jawa Tengah
430
65 070
Tawa Timur
1 051
290 790
Jumlah:
3 745
675 364
(Hasbullah, 1999:140)

Dalam Tabel 2, dapat kita melihat bahwa hampir empat dasawarsa kemudian, jumlah pesantren di Jawa telah bertambah kurang lebih empat kali. Statistik dari Tabel 2, yang dikumpulkan dari laporan Departemen Agama RI pada tahun 1978 yang mengenai keadaan pesantren di Jawa, menunjukkan bahwa sistem pendidikan pesantren di Jawa dipelihara, dikembangkan dan dihargai oleh masyarakat umat Islam di Indonesia. Kekuatan pondok pesantren dapat dilihat dari segi lain, yaitu walaupun setelah Indonesia merdeka telah berkembang jenis-jenis pendidikan Islam formal dalam bentuk madrasah dan pada tingkat tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), namun secara luas, kekuatan pendidikan Islam di Jawa masih berada pada sistem pesantren (Dhofier 1985:20).

Dari data-data tersebut harus kita bertanya, mengapa pesantren begitu sanggup menahan dan berkembang selama bertahun-tahun penuh dengan tantangan dan kesulitan yang dibuat baik pemerintah Belanda maupun pemerintah RI? Menurut saya, sistem pendidikan pondok pesantren mampu bertahan dan tetap berkembang karena siap menyesuaikan dan memoderenkan tergantung pada keadaan yang sebenarnya ada di Indonesia. Sejak awalnya, pesantren di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan tantangan karena dipengaruhi keadaan sosial, politik, dan perkembangan teknologi di Indonesia serta tuntutan dari masyarakat umum. Oleh karena itu, pada masa ini di dunia pesantren terjadi pembangunan sistem pendidikan pesantren modern yang akan dibahasi dalam bagian berikut.

Sistem Pendidikan Pondok Pesantren:
Dulu, pusat pendidikan Islam adalah langgar masjid atau rumah sang guru, di mana murid-murid duduk di lantai, menghadapi sang guru, dan belajar mengaji. Waktu mengajar biasanya diberikan pada waktu malam hari biar tidak mengganggu pekerjaan orang tua sehari-hari. Menurut Zuhairini (1997:212), tempat-tempat pendidikan Islam nonformal seperti inilah yang “menjadi embrio terbentuknya sistem pendidikan pondok pesantren.” Ini berarti bahwa sistem pendidikan pada pondok pesantren masih hampir sama seperti sistem pendidikan di langgar atau masjid, hanya lebih intensif dan dalam waktu yang lebih lama.

Pendidikan pesantren memiliki dua sistem pengajaran, yaitu sistem sorogan, yang sering disebut sistem individual, dan sistem bandongan atau wetonan yang sering disebut kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kyai atau pembantu kyai. Sistem ini biasanya diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang telah menguasai pembacaan QurĂ¡n dan kenyataan merupakan bagian yang paling sulit sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Murid seharusnya sudah paham tingkat sorogan ini sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren (Dhofier, 1985: 28).

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren ialah sistem bandongan atau wetonan. Dalam sistem ini, sekelompok murid mendengarkan seorang guru yang membaca, menerjemahkan, dan menerangkan buku-buku Islam dalam bahasa Arab. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang artinya sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan seorang guru (Dhofier, 1985: 28). Sistem sorogan juga digunakan di pondok pesantren tetapi biasanya hanya untuk santri baru yang memerlukan bantuan individual.

Pesantren sekarang ini dapat dibedakan kepada dua macam, yaitu pesantren tradisional dan pesantren modern. Sistem pendidikan pesantren tradisional sering disebut sistem salafi. Yaitu sistem yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik sebagai inti pendidikan di pesantren. Pondok pesantren modern merupakan sistem pendidikan yang berusaha mengintegrasikan secara penuh sistem tradisional dan sistem sekolah formal (seperti madrasah).

Tujuan proses modernisasi pondok pesantren adalah berusaha untuk menyempurnakan sistem pendidikan Islam yang ada di pesantren. Akhir-akhir ini pondok pesantren mempunyai kecenderungan-kecenderungan baru dalam rangka renovasi terhadap sistem yang selama ini dipergunakan. Perubahan-perubahan yang bisa dilihat di pesantren modern termasuk: mulai akrab dengan metodologi ilmiah modern, lebih terbuka atas perkembangan di luar dirinya, diversifikasi program dan kegiatan di pesantren makin terbuka dan luas, dan sudah dapat berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat (Hasbullah, 1999:155).




SUMBER RUJUKAN :
Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren< Depag Jakarta. 1985
S. Nasution Azas-azas Kurikulum, Bandung Jemars, 1982
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES
Peraturan pemerintah tentang Pesantren
Hasil-hasil musayawarah, seminar pesantren
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren








Riwayat Hidup

Nama Lengkap : Alimudin S.PdI
Tempat Tanggal Lahir : Garut, 20 Februari 1977
Nama Istri : Yulia Alimudin
Nama Anak : Najma Zahra Firstaliya
Jabatan : Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Garut (UNIGA)
Alamat : Kp. Jati Desa Situgede Karangpawitan Garut
HP. 085223538749 email: alimudinemail@yahoo.co.id

PENDIDIKAN :
1. Sekolah Dasar Negeri (SDN) Wanakerta III Kertajaya Cibatu Garut,
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Cibatu Garut,
3. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, 1997
4. Fakultas Agama Islam Universitas Garut, 2005-2007
5. Program Magister (S2) Administrasi Negara Universitas Garut, 2008

SILABUS MATA KULIAH TELAAH PESANTREN
FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS GARUT
Tujuan :
Agar Mahasiswa/I memahami kurilkulum pendidikan pesantren
Agar mahasiswa memahami model-model pesantren, dan mampu merancang pesantren yang tepat sesuai dengan zamannya
II. Pokok Bahasan
Langkah dan dasar kurikulum pesantren.
(aspek pendidikan islam, aspek pendekatan dengan system pendidikan nasional)
Prinsip-prinsip yang melandasi kurikulum pesantren
(prinsip feksibilitas, orientasi kepada tujuan, efisiensi dan efektifitas, kontinuitas dan pendidikan seumur hidup)
Sistematika Kurikulum pesantren (tujuan institusional, strukutur program. Isis materi system-sistem penyajian,d penilaian dan Bp)
Teknik pengayaan materi termsuk kitab teksnya
Masalah-masalah pokok yang dihadapi dalam pengembangan dan pembinaannya (klasifikasi dan kompetisi out put dan sebagainya)
model-model pesantren)
Rujukan :
Abdurrahman Saleh, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren< Depag Jakarta. 1985
S. Nasution Azas-azas Kurikulum, Bandung Jemars, 1982
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah, LP3ES
Peraturan pemerintah tentang Pesantren
Hasil-hasil musayawarah, seminar pesantren
Zamakhsyari Dhofir, Tradisi Pesantren



[1] Pada larut malam, tanggal 12 Oktober 2002, bom meledak di depan Sari Club, Jl. Legian, Kuta, Bali. Kurang lebih 300 orang terluka dan 190 orang tewas akibat peledakan tersebut. Kebanyakan korban berasal dari Australia dan Indonesia. Dampak besar peledakan bom itu dirasakan terutama oleh masyarakat Bali karena ekonominya sangat tergantung kepada hasil bidang pariwisata yang setelah kejadian tersebut telah hancur. Tim investigasi (yang termasuk polisi RI dan polisi Australia) tidak perlu waktu yang lama untuk menangkap pelaku peledakan bom yang ternyata berasal dari Indonesia.